Aisha bertengkar dengan kakak nya siang itu, mengancam tak akan makan sampai kakak nya minta maaf. Namun pelukan hangat sang ibu yang merayunya tak bisa di abaikannya. Luluh sudah segala amarahnya.
Makan malam itu. Ayah ibu dan akak.Aku bercerita tentang semua teman baru ku hari itu di sekolah. dan ibu kan semangat mendengar cerirtaku dengan sesekali menambhkan nasi dan lauk ke piringku. Ayah seperti biasa juga mendengarkan sambil menimpali.
Hingga malam itu tiba, aku tau mimpi itu mimpi terburuk dari anak seperti diriku,dan mimpi itu menjadi kenyataan. Makan malam impian yang hanya tinggal impian.
Malam itu aku benar benar marah. semarah marahnya. tanpa rayuan ibu dan pelukan hangatnya. Tinggal kakakku di luar kamarku sendirian, membujukku dengan segala macam cara untuk makan. Masih teringat pilu wajah ibu yg memintaku untuk mengerti dan ayahku yg tak bisa berkata apa apa ketika mereka akan pergi tadi.
Segala cara ku untuk mencegah mereka tak berhasil :( yap ibu ayahku telah pergi
pergi ketempat yanng ntah di mana demi memenuhi tuntutan wajib militer bagi setiap penduduknya, mengabdi di perbatasan. Konflik yang telah terjadi berbulan bulan memuncak dan negara ku yang sedang dalam status darurat akan perang.
Masih terdengar suara kakakku yang tak juga menyerah padahal sudah setengah jam sudah aku mengunci kamar. Aku yang ingin sendiri dan menangis sejadi - jadinya. berbeda yang jika biasanya lontaran kasar atau kepergian kakakku di saat seperti ini, kali ini suaranya masih terdengar. Tak tega, ku buka pintu, dipeluknya diriku, bekas air mata yang terlihat jelas berusaha di sembunyikannya.Senyuman yang beradu dengan kesedihan itu tergambar jelas.
"Aku ku ingin ayah ibu ada di sini. mengapa mereka pergi ?"
di peluknya diriku sekali lagi,
"tak apa, tak apa sayang, tak lama lagi mereka kembali. kita doakan semoga ayah dan ibu bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan bisa bersama kita secepatnya"
Hari itu makan malam itu berbeda, nasi yang ku biarkan masuk ke mulutku berasa hambar. Bukan karena telur dadar yang berusaha di buat kakakku dengan ukuran besar yg tak enak tapi aku rindu dua kursi itu terisi oleh ayah dan ibu ku. Padahal baru 5 jam lalu mereka berangkat.
Aku terbangun oleh suara adzan di masjid. Terbangunkan dari mimpi yang indah. Mimpi makan malam terakhirku bersama ibu dan ayah lalu kenyataan pahit bahwa tak ada suara mamaku yang membangunkanku, gelitik dari ayahku di pagi hari yang menceramahiku agar tak telat sholat shubuh, kenyataan itu, bahwa sekarang tinggal aku dan kakak ku yg ada.
Dapur yang biasanya ramai suara piring dan penggorengan dengan ibu yg sibuk menyiapkan sarapan kini tinggal kenangan, sepi, aku berlari secepatnya menghindari menatap lama lama dapur itu. Mandi secepatnya. Kupakai seragam sekolah ku dalam diam. Dan ku tinggalkan rumahku yg terasa sesak akan ingatan.
Satu satunya kenapa aku harus bertahan di rumah sesak itu adalah satu harapan bahwa mungkin impianku itu, ayah ibuku kembali akan terjadi. Aku harus menunggu kedatangan mereka. Lalu tubuh kurus kakakku yang mengantarkanku sampai gerbang sekolah itu, pelukan hangatnya aku tau, dia juga mengalami masa yang sulit sepertiku tapi hari itu dia bisikkan kata kata hangat itu, sedikit menghangatkan hatiku yg sesak akan kesedihan.
"dek, teruslah berdoa, jangan biarkan rasa sedihmu mengalahkanmu dan membiarkan dirimu jauh dari Sang Pencipta. yang MahaKuasa. kalahkan semua itu, berdoa insyaAllah ayah ibu akan di permudah dan bisa kembali bersama kita secepatnya jika Allah yang menghendaki."
Seminggu sudah, terakhir ku peluk ibu ku memaksanya agar jangan pergi. Segala jenis tangisan dan rengekan yang tak berhasil. Dan sekarang sudah seminggu. aku sudah terbiasa dengan rumah yang sepi ini. Aku akan berdoa. Di tiap kesedihanku menusuk, di saat bayangan nakal itu muncul masa kecilku yang bahagia, kerinduan mendalamku pada ayah ibu.
Aku akan berwudhu memakai kerudungku sholat hajat dan ku tengadahkan kedua tanganku ku ceritakan pada Allah bahwa aku rindu orang tuaku, aku rindu mereka. aku ingin mereka kembali secepatnya. Aku akan menjadi anak yang baik. Tak akan menyusahkan, tak akan sering ngambek lagi. Allah bantu aku.
Hingga teriakan kakakku siang itu. Aku berlari kekamarnya di ruang tengah. Telfon dari mama ayahku. Ku lihat mata kakaku yg berkaca kaca.Kutarik tarik rok nya dari bawah isyarat bahwa aku ingin bicara secepatnya. Ku tarik nafasku yg hampir habis karna terlalu senang. terbata bata kukatakan :
"Ibu ayah. Aku rindu kalian. Tak apa. Aku kakak di sini baik, aku makan tiga kali sehari. Kakak sangat baik membuatkanku telur dadar yg begituuu besar. Aku rindu ayah ibu di sini. Tapi aku tau, ayah ibu harus pergi sebentar tak apa. Dari sini kudoakan tiap hari, tiap malam, tiap saat pada Allah agar ayah ibu bisa secepatnya kembali. Bisa secepatnya menyelesaikan urusan di sana. Aisha akan menunggu dan terus berdoa dari sini. Ibu ayah jangan lupa makan ya. .terus jaga kesehatan. Aisha dan kakak akan menunggu. ..."
Suara di ujung telfon tak ada satu satupun yang terdengar, gemerisik hening. Tapi aku yakin masih ada sosok yg mendengarkan diujung sana. Suara seseorang yg menahan tangis. Ibuku. Lalu suara yg kurindukan itu pun terdengar.
"Aisha, sabar ya. Tak lama lagi sebulan lagi ketika kewajiban ayah ibu disini sudah selesai. Ayah ibu akan secepatnya kembali kesana insya Allah. Menemani aisha dan kakak lagi. Jaga diri baik baik dan terus berdoa pada Allah akan kebaikan." lalu suara ayahku yang terdengar serak dan mengatakan kalimat singkat "Aisha anak kebanggaan ayah, jadilah anak yang tangguh"
Telfon ayah dan ibu siang itu sedikit meringankan kesedihan yg sudah lama membebani hati. Segala apa yang ingin ku ucapkan sudah ku ucapkan, tak ada penyesalan pahit seperti sebelumnya, kenyataan bahwa kepergian orang tua ku yang ku antar dengan membalikan badan dan bersikap kekanakan. Lega aku berdoa kembali semoga mereka di beri keselamatan.
Sejak hari itu, kakak ku mulai bisa tersenyum simpul namun sesekali raut sedih itu tergambarkan, sibuk memasak makan malam. Aku menunggu di meja makan, memperhatikannya, dan menasihati diri sendiri, aku tak boleh sedih. Rasa kasihan yang diam diam menyusup dalam hati melihat tubuh kakak ku yg semakin kurus. Dan raut senyuman nya yg selalu di perlihatkannya ketika berbicara denganku.
Tamat
------------------------------------------------- behind the story ------------------------------------------------------
Perjuangan itu baru di mulai tak bisa kulanjutkan cerita ini. Aku takut. Aku begitu takut malanjutkan ceritanya. Tokoh Aisha yang muncul, di sudut kota yang tentram, keluarga islami yang bahagia, namun di renggut bahagianya, oleh perang yang terjadi, Diusia nya yg masih anak anak ia harus memahami keadaan dan satu keyakinan bahwa dia punya Sang Maha Cinta. Sealu punya tempat ruang untuk bercerita dan menengadahkan tangan memohon kasih sayangNya.
Biar Allah yang mengizinkan kapan cerita ini berani kulanjutkan. Karena tokoh Aisha pula yang menjadi cermin ketidakdewasaanku, ketakutan yang kusadari paling takut kuhadapi, kehilangan orang yang ku cintai. Cerita aisha di sudut negeri islam terpencil, yang tengah menanti dengan penuh harap. Doa doa dari kedua anak yg terus dipanjatkan siang dan malam akan impian mereka. Kehadiran kedua orangtua seperti sedia kala. Sedangkan di ujung lain negeri, perbatasan konfik yg tengah bergejolak, dentuman bom yang berjatuhan menghantam pengungsian, deru peluru yang mengisi kesunyian dari para penghuninya yang sudah tak bernyawa. Dan ayat Allah ini mengisi kalbu setiap muslim yang menetes air matanya karna kesedihan :
Qs. Al Baqarah (2) : 286
Artinya :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo'a): "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."
Sang fajar merona keemasan di terpa kehangatan,
kadang aku memohon
mendekap tangan dalam dada
aku memimpikan mentari datang dalam kehidupanku
Menceritakan mimpi itu hanya pada satu, Allah
memimpikan sesuatu di mana orang lain akan
menertawakan impian sederhanaku.
doa yang tulus dari dasar hati
dua anak yang tak tau bagaimana desing peluru
memasuki ketakutan dalam dada
dada manusia yang sudah hilang asanya
dari kejauhan,
mentari selalu terbit di tiap pagi
dari timur menyapu kegelapan dan dinginnya
hati dan insan yang telah beku
karna terjaga mengetuk pintu langit malam
memohon sekali lagi.
Allah kabulkan Amiin
pict
Komentar
Posting Komentar